Sabtu, 08 Juni 2013

Mengenal Pudiklatda Argasonya Jawa Timur



Kala itu, sekitar tahun 1966, setelah kwarnas menamakan pusdika dengan Candradimuka, Kolonel Laut Muthalib  yang bertugas sebagai andalan urusan latihan Kwarda Jatim pada waktu itu, mengusulkan Dadika (Daerah Pendidikan Pramuka) Jawa Timur dengan nama Argasonya. Usulan tersebut diterima dengan senang hati oleh pelatih lainnya. Sampai saat ini, Argasonya dipakai sebagai nama tempat pelatihan kepramukaan di Jawa Timur. Cadika (Cabang Pendidikan Pramuka) saat ini menjadi pusdikacab se-Jawa Timur sampai saat ini juga mempunyai nama masing-masing, contohnya, Pamekasan dengan Nanggala, Ponorogo dengan Amerta, Banyuwangi dengan Macanputih, Surabaya dengan Gunungsari, begitulah seterusnya. 
Kemudian, pada tahun 1978 dibentuklah Gelanggang Krida Pramuka (GKP) Jawa Timur di Sedati sebagai tempat krida (kerja) para pramuka termasuk satuan karya. Pada saat itu pula, Dadika berubah nama menjadi Lemdika yang lokasinya menyatu dengan GKP Argasonya. Pada tahun 2011, GKP di Sedati dipindahkan ke Balongbendo dengan nama GKP Argasonya yang di dalamnya terdapat Pusat Pendidikan dan Pelatihan Daerah (Pusdiklatda) Jawa Timur.
Argasonya merupakan tempat penggemblengan kepramukaan dari peserta didik, pembina, pelatih, instruktur, orang dewasa, dan masyarakat dengan tujuan meningkatkan kinerja kepramukaan, membentuk insan Indonesia yang berbudi luhur sesuai dengan cita-cita Gerakan Pramuka. Sentuhan yang digunakan dalam penggemblengan adalah Ketulusan, Cinta Kasih, dan Kebahagiaan dengan prinsip dan metode kepramukaan.
Argasonya diambil dari sebuah nama padepokan (tempat pendidikan) yang diasuh oleh seorang resi jelmaan Batara Brama. Di Argasonya itulah seorang ksatria bernama Kakrasana (saudara kembar Prabu Kresna) bertapa, menggembleng diri, dan mencari kesejatian hidup. Setelah selesai berguru Kakrasana berubah nama menjadi Baladewa. Dari bertapa itu, ia mendapatkan anugerah pusaka sakti yaitu senjata Nanggala yang berwujud angkus (mata bajak), dan Alugora berwujud gada dengan kedua ujung yang runcing. Selain itu Baladewa juga mendapat Aji Jaladara yang dapat terbang dengan kecepatan tinggi.
Baladewa adalah anak Prabu Basudewa, raja Mandura dari Ibu yang bernama Dewi Mahendra. Ia mempunyai saudara kembar yang bernama Kresna. Walaupun lahir kembar Baladewa dan Kresna adiknya tidak sama. Baladewa berkulit putih, sedangkan Kresna berkulit hitam cemani. Baladewa mempunyai adik wanita bernama Bratajaya atau Sumbadra.

Walaupun Baladewa terkenal sebagai raja yang mudah marah, ia jujur, adil, dan tulus. Ia tidak sungkan-sungkan untuk meminta maaf atas kesalahannya. Sejak kecil Baladewa dan kedua adiknya diungsikan dan disembunyikan di kademangan Widarakandang karena mendapat ancaman mau dibunuh oleh Kangsadewa. Di kademangan Widarakandang Baladewa dan kedua adiknya diasuh oleh Demang Antyagopa dan nyai Sagopi.
Baladewa beristeri Erawati anak Raja Salya dari negara Mandaraka dan mempunyai dua anak laki-laki yaitu Wisata dan Wimuna. Baladewa menjadi raja di Mandura menggantikan ayahnya Prabu Basudewa. Nama lain dari Baladewa adalah Kakrasana, Karsana, Balarama, Wasi Jaladara, dan Curiganata.
Pada saat perang Baratayuda berlangsung, Baladewa justru tidak terlibat sama sekali. Hal ini disebabkan karena rekayasa Prabu Kresna. Baladewa sengaja diselamatkan oleh Kresna dari kemungkinan buruk yang bakal menimpanya, yaitu dengan meminta Baladewa bertapa di Grojogan sewu. Tujuannya agar Baladewa tidak mendengar suara gemuruh perang, karena tertutup oleh suara air terjun. Baru ketika perang Baratayuda sudah usai, Baladewa sadar bahwa ia ditipu oleh adiknya. Baladewa meninggal dalam usia lanjut. Ia sempat menyaksikan penobatan Prabu Parikesit menjadi raja Hastinapura. Baladewa wafat menyusul Kresna adiknya yang terlebih dahulu muksa.