Senin, 25 Juli 2011

Gerakan Pramuka di Sekolah, Hidup Enggan Mati Tak Mau



Oleh Suyatno

Suatu ketika, seorang pembina pramuka di sekolah geleng-geleng kepala setelah melihat pendaftar ekstrakurikuler pramuka sangat sedikit, bahkan berada pada hitungan jari sepuluh jika dibandingkan dengan ekstrakurikuler lainnya, semisal basket, paskibraka, tari, KIR, dan lainnya. Hal itu terjadi hampir tiap tahun dan terus merosot jumlahnya sampai pada akhirnya ditutup atau ditiadakan untuk ekstrakurikuler Gerakan Pramuka. Lalu, dengan bangganya, kepala sekolah menyatakan, “Di sekolah kami, pramuka tidak diminati”. Pernyataan itu diamini oleh guru-guru lainnya. Sempurnalah, Gerakan Pramuka telah mati di sekolah.

Jika merunut ke belakang, setelah ditandatangani kerjasama antara dirjen dikdasmen (waktu itu) depdikbud dan kakwarnas di tahun 1975, Gerakan Pramuka wajib ada di sekolah sebagai wadah pembinaan kepramukaan yang berpangkalan di sekolah. Kerjasama itu sampai sekarang tidak pernah dicabut. Bahkan, Gerakan Pramuka di sekolah semakin dikuatkan UU no 20 tahun 2003 tentang sisdiknas, dokumen KTSP, dan kerjasama lima menteri, yang di dalamnya terdapat menteri pendidikan. Artinya, Gerakan Pramuka wajib di selenggarakan di pangkalan sekolah, baik dari SD, SMP/MTs/SMA/MA/SMK. Bahkan, di perguruan tinggi, Gerakan Pramuka juga wajib diselenggarakan setelah lahir surat kerjasama dirjen dikti dengan kakwarnas tahun 1981.

Jadi, tampaklah jelas bahwa Gerakan Pramuka bukan ekstrakurikuler yang disamakan dengan kegiatan lainnya. Jika disamakan, tentu, Gerakan Pramuka tidak akan diminati karena sifatnya yang tidak mendatangkan prestasi, tidak ada pergelaran, dan tidak instan. Gerakan Pramuka bersifat pendidikan nilai yang berprinsip pendidikan di luar sekolah dan di luar keluarga. Gerakan Pramuka lebih pada melengkapi pendidikan formal di bangku sekolah dengan menitikberatkan pada pendidikan alam terbuka dan kemasyarakatan.

Bisa jadi, siswa yang ikut ekstrakurikuler basket juga harus aktif di Gerakan Pramuka pangkalan sekolah sehingga akan menjadi pebasket yang jujur, berani, ksatria, dan lainnya yang sesuai dengan kode etik Gerakan Pramuka. Begitu pula, siswa yang turut serta di ekstra selain basket, dia akan mempunyai nilai yang kuat untuk bekal hidupnya kelak. Nilai itu didapatkan dari keikutsertaannya di pangkalan Gerakan Pramuka di sekolah yang lazimnya disebut gugusdepan (gudep).

Tentu, ke depan, para kepala sekolah sebagai penanggung jawab pendidikan di satuannya, yang juga disebut sebagai ketua majelis pembimbing gudep, harus mengubah paradigma kepramukaan di sekolah. Kepala sekolah tidak dapat tinggal diam kenyataan yang terjadi di sekolahnya berkaitan dengan Gerakan Pramuka.

Sebuah sekolah, sebut saja SMA Dul-Dul, telah mempunyai nomor gudep resmi. Berarti, sekolah itu mempunyai kewajiban untuk memelihara pangkalan pendidikan kepramukaan dengan kelengkapan ada pembina, peserta didik, tempat, administrasi, dan kegiatan. Kelengkapan itu secara rutin dilaporkan ke kwarcab melalui ranting masing-masing kecuali gudep perguruan tinggi yang dapat langsung ke kwarcab karena aturannya begitu. Kepala sekolah secara rutin mengecek kelangsungan gudep selaku ketua majelis gudep dan memberikan bantuan bimbingan, koordinasi, kebutuhan dana, perlengkapan, dan lainnya.

Latar belakang gudep berada di sekolah diawali oleh permintaan para pengelola sekolah untuk memudahkan pendidikan kepramukaan bagi siswanya. Awalnya, gudep berada di luar sekolah dan di luar keluarga, yakni gudep berada di masyarakat. Ada gudep yang berpangkalan di kantor desa, di kantor kecamatan, dan di mana saja yang dianggap layak. Peserta didiknya berasal dari berbagai kalangan sekolah dan berbagai lapisan masyarakat yang berlatih di gudep tersebut. Kemudian, agar siswa di sebuah sekolah dapat mudah berlatih tanpa harus jauh-jauh dan siswa lain juga dapat mengenyam kepramukaan karena sangat mulia tujuannya, para pemikir sekolah memberikan gagasan bahwa gudep sebaiknya di sekolah. Gagasan itu diwujudkan melalui kerja sama seperti yang dijelaskan di awal.

Kkeadaan berbalik. Gudep di masyarakat (teritorial) mulai susut bahkan tidak ada. Sementara, gudep di sekolah menjamur. Namun, apa dikata? Banyak gudep di sekolah hanya sebatas papan nama tanpa ada napas aktivitas.

Akibat dari itu, kondisi sekarang mulai berbalik lagi setelah banyak unsur masyarakat yang mulai mendirikan gudep sendiri akibat tidak puas dengan gudep di sekolah. Banyak koramil mendirikan gudep. RW juga mengadakan pelatihan kepramukaan. Ke depan, gudep di masyarakat akan semarak.

Mumpung belum semarak. Gudep sekolah perlu dibangunkan kembali dengan melalui sistem yang seirama dengan aturan kepramukaan. Kuncinya, kepala sekolah haruslah sadar diri atas tanggung jawab terhadap keberlangsungan Gerakan Pramuka di sekolah. Sanggupkah?